Pasaman | Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Pasaman, Furqan, mengungkapkan bahwa memaksa anak untuk bersekolah di tempat yang tidak mereka inginkan dapat mengakibatkan gangguan psikologis.
Pernyataan ini disampaikan sebagai tanggapan atas pengaduan dari orang tua kepada DP3AP2KB Pasaman pada Selasa (30/6/2024) yang mengklaim bahwa mereka dikeluarkan dari adat karena anaknya tidak bersekolah pada salah satu Madrasah swasta dikampugnya di Kecamatan Padang Gelugur, Kabupaten Pasaman.
“Kami dari DP3AP2KB Pasaman sudah turunkan tim menemui anak itu. Sang anak memang mau sekolah diluar kampung tersebut, tidak mau sekolah di kampungnya”, ujar Furqan kepada wartawan pada Jumat (9/8/2024).
Furqan menjelaskan bahwa saat timnya mengunjungi 2 orang anak dimaksud pada Rabu (31/6/2024), kondisi psikologis mereka tampak baik. Namun, ia menegaskan bahwa memaksa anak tersebut bersekolah di tempat yang tidak mereka inginkan berpotensi menimbulkan masalah psikologis.
“Fisikologis anak bisa berubah-ubah. Waktu tim kami kesana, mental anak baik. Namun jangan dipaksa sekolah di kampungnya, itu berpotensi mengganggu fisikologis anak”, terang Furqan.
Masalah ini mencuat setelah diketahui bahwa salah satu kampung di Kecamatan Padang Gelugur, Kabupaten Pasaman menetapkan aturan yang diduga mewajibkan anak-anak berdomisili di kampung tersebut untuk sekolah di Madrasah swasta setempat. Bagi keluarga yang tidak mengikuti aturan akan dikeluarkan dari adat dan tidak mendapatkan perhatian dari masyarakat kecuali dalam hal meninggal dunia.
Dua orang tua melaporkan bahwa mereka dikeluarkan dari adat setelah anaknya berusia 4 dan 7 tahun, menolak untuk bersekolah di Madrasah swasta tersebut. Mereka mengaku bahwa pengumuman dikeluarkannya keluarga mereka dari adat di masjid pada 26 Juli 2024 telah menyebabkan anak-anak mereka mengalami gangguan mental.
“Kami telah membuat pengaduan ke Polres Pasaman dan meminta perlindungan dari DP3AP2KB. Anak-anak kami sangat terganggu setelah diumumkan dikeluarkan dari adat,” ungkap orang tua anak tersebut pada (30/7/2024) lalu.
Sementara itu, Kepala Kemenag Pasaman, Yasril, telah mengklarifikasi situasi ini kepada kepala Madrasah terkait aturan tersebut. Menurut Yasril, aturan dibuat oleh masyarakat kampung dan tidak ada keterkaitan langsung dengan pihak sekolah. Namun, Yasril menegaskan bahwa jika terbukti ada keterlibatan sekolah, Kemenag akan memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
Undang-Undang Perlindungan Anak
Sebagaimana diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 9 ayat (1) menerangkan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai
dengan minat dan bakat.
Pasal 76A huruf a setiap orang dilarang memperlakukan Anak secara diskriminatif yang mengakibatkan Anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya.
UU ini juga mengatur pidana bagi yang melanggar yaitu pada Pasal 77 menjelaskan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76A dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).( DS 1981)